Jangan
membuat Kami Kecewa
Ingatan
saya belum hilang ketika Bapak Ridwan Kamil dengan “gagah” berani menolak
tawaran dalam bursa pemilihn gubernur DKI Jakarta. Bukan sekedar demi pamor
politik dan strategi peningkatan elektabilitas diri, beliau memberikan alasan
yang sangat baik dan konsisten, yaitu masih ingin meneruskan amanah, memimpin
warga Bandung. Dalam status Fanpage nya, “Jika pilkada bisa serempak semua,
tidak akan ada stigma pemimpin kutu loncat bagi mereka yang ingin mengabdi ke
jenjang lebih tinggi . Hal ini dapat dijelaskan, beliau tidak suka dengan
politik “ pemimpin kutu loncat”, meskipun mempunyai kesempatan yang besar. Saya
menyitir statement Kang emil bulan februari lalu saat memilih kota Bandung
sebagai tempat untuk mengemban amanah Walikota;
“
Masalah batin saya hanya satu. Saya belum selesai menunaikan tugas sebagai
Walikota Bandung. Andai pilkada di Indonesia ini bisa serempak awal dan
akhirnya, tentu tidak akan ada dilema seperti ini. Jika pilkada bisa serempak
semua, tidak akan ada stigma pemimpin kutu loncat bagi mereka yang ingin
mengabdi ke jenjang lebih tinggi. Dan jika mengikuti hawa nafsu dan hitungan
matematika pilkada, pastilah saya tidak banyak berpikir panjang. Namun hidup
tidaklah harus selalu begitu. Saya ingin bahagia tanpa mencederai. Saya ingin menang
tanpa melukai.
Sebagai
walikota Bandung, beliau merasa belum bisa memberikan apa-apa terhadap warganya
(sifat sangat rendah hati ini membuat saya begitu kagum-kagum terhadap pola
kepemimpinannya), padahal menurut saya, dibawah kepemimpinan beliau, warga
Bandung menjadi lebih maju dan merasa merdeka sebagai warga. Dengan penuh gagah
dan rendah hati (biasanya gagah itu jarang sekali berdampingan dengan rendah
hati, justru gagah identik dengan “merasa tinggi dan angkuh”), Kang Emil
meminta maaf kepada para elit politik yang ingin mengusungnya, bukan karena
beliau tidak mampu (apalagi tidak berani), namun beliau merasa “takut”
meninggalkan warga yang didampinginya di Bandung, takut atas amanah warga
Bandung yang disematkan padanya. Selain itu, Kang Emil juga meminta kepada
warga Jakarta yang mendukungnya bersabar tidak menyegerakannya untuk pindah,
dan berterima kasih karena sudah memilih dan mendukungnya.
Pemimpin
kutu loncat , (kalau saya menilai “pemimpin Batu loncat”, yaitu pemimpin yang
berkesempatan naik jabatan lebih prestisius), sepertinya memang banyak terjadi
dalam kepemimpinan di Republik ini. Hal ini dikarenakan pemilihan kepala daerah
tidak serentak. Mari kita sejenak mengingat kejadian tempo lalu, melihat
perjalanan pemimpin didaerah yang saat menjabat (artinya periode belum
berakhir) merelakan masuk bursa jabatan yang lebih prestisius. Contohnya saja
seorang pejabat mundur dari walikota suatu daerah di Indonesia untuk memilih
menjadi Gubernur Jakarta yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia.
Seorang anggota DPR juga mundur untuk berpasangan dengan salah satu pasangan
Gubernur DKI.
Cara
beliau-beliau para pejabat dalam meraih kepemimpinan memang tidaklah salah,
sayapun menilai hal itu benar benar benar dalam politik. Namun ada beberapa
catatan kenapa seorang pemimpin itu harus konsisten terhadap programnya, amanah
terhadap warga. Berikut catatannya : pertama, Misalnya saja seorang Bupati yang
menjabat selama 5 tahun, maka program didalam visi misinya harus diselesaikan
sesuai periode yang diamanahkan, kalau tidak, maka rakyatlah yang harus
dikorbankan, program yang hanya setengah-tengah, tidak maksimal dan tidak
konsisten, menciderai visi misinya. Kedua, Apabila dalam 3 tahun periode masa
jabatan Bupati, ditengah masanya, mencalonkan gubernur atau wakil Gubernur,
terasa kurang etis (menang dicaci, kalah membuat malu). Karena seperti bola
berputar kembali, berkampanye berjanji-janji, padahal janjinya sebagai Bupati
belum dituntaskan. Ketiga, akan ada kebijakan, program, cita-cita yang
terhenti, separoh perjalanan dan tidak akan maksimal. Keempat, ada
ketidakrelaan warganya yang menilai bahwa pemimpinnya yang terbaik, unik (hanya
satu) dan tidak tergantikan. Kelima, ada faktor teori politik, dijatuhkan
pelahan dengan cara diunggulkan dimuka, padahal niatannya (dari lawan politik)
untuk menjatuhkan pemimpin tersebut. Keenam, kalau hanya untuk meningkatkan
elektabilitas saja, contohnya dengan cara pura-pura mencalonkan diri, masuk
bursa pembicaraan media sosial, masuk isu dan wacana publik, berakhir menjadi
terkenallah nama orang tersebut, maka tidaklah akan baik pada akhirnya semua
hal dengan kepura-puraan.
Ahhh,
ini hanyalah gurauan yang tidak penting, kata orang Desa, “nyapo kok mikirake
pejabat sing nek nduwor, wong sing nek nduwor gak tau mikirake awake dewe”,
kenapa kita memikirkan pejabat diatas kita (rakyat), padahal mereka saja tidak
memikirkan kita. Iya memang benar seperti itu, namun perlu kita ingat, Vox
Popoli Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Warga negara adalah sebagai
katalisator terbaik, pengkritik ulung, pemberi saran objektif dan sebagai “ibu”
ketika semua jabatan berakhir (terlepas).
Kita
membicarakan tentang konsistensi, bukan barisan kelompok hoaks yang sengaja
menyerang lawan politiknya, bukan. Sebagai warga negara, kita hidup untuk
menebar kebaikan kepada orang lain, kalau sebagai pemimpin ya harus membina
warganya dengan baik sesuai janji-janji politiknya. Khoirunnaasi angfanguhum
linnas, sebaik baik manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Nah, Coba
bayangkan betapa hidup ini sangat indah bila saling mengerti dan memahami
peran, tanpa harus terbuai oleh rayuan jabatan yang lebih bergengsi dan keren,
maka Akan ada suatu masa dimana posisi (jabatan) tidak akan diperebutkan,
“kursi” tidak akan dicari hingga melukai orang lain, melukai rakyat yang
dipimpinnya.
Bicara
tentang kepemimpinan, manusia adalah khalifah fil ard , pemimpin didunia (bukan
PBB, tapi di muka bumi). Sebagai presiden, gubernur, bupati dan jabatan lainnya
adalah pemimpin bagi rakyatnya. Sebagai seorang bapak, menjadi pemimpin
dikeluarganya. Sebagai seorang istri menjadi pemimpin dalam mengelola keluarga,
suami dan anak-anaknya. Sebagai seorang hamba/pembantu, berperan memimpin
terhadap perintah tuannya. Semua akan mendapatkan pertanggungjawaban, kalau
tidak didunia, diakhirat kelak.
Tahun
2018, akan ada pemilihan kepala daerah serentak. Semoga tidak ada lagi para
pemimpin yang mempunyai inisiatif merelakan jabatan yang diemban demi meraih
jabatan yang lebih tinggi.
#1
0 Comment for "Jangan membuat Kami Kecewa"