KALAU
Kalau
bisa bersama dan damai, mengapa selalu ramai dan terus memancing kerusuhan ?
Jika
hidup bersama lebih indah dengan cara gotong royong, kenapa harus sendiri-sendiri dan terus saling menuduh dan mengklaim kebenaran ?
Jikalau
memang kemakmuran rakyat harus digadaikan dengan darah kemanusiaan, mengapa
tidak sekalian memberangus suatu kaum yang berbeda ?
Berorganisasi adalah tempatnya orang yang berbeda,
anggapannya harus berikhtiar dalam keberagaman menuju teguhnya kesatuan. Tetapi
mengapa justru berorganisasi sebagai tempat memproduksi fanatisme yang akut ?
Mengapa berorganisasi justru menimbulkan stigma pengkotak-kotakan golongan ?
Apakah
Negara Kesatuan belum menjadikan nilai nilai dalam bernegara dan bermasyarakat
?
Apakah
sila-sila yang telah terstruktur rapi dalam Pancasila kurang begitu kokoh dan
Tegak dalam menyangga Indonesia ?
Bukankah
Indonesia pernah terjajah dalam waktu yang sangat lama ? dan Pilar UUD 45 telah
jelas, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.
Maka akan akah kemerdekaan yang telah diraih ini akan kembali hancur, terjajah
oleh sistem kapitalisme, terjajah oleh Wacana Perpecahan, kembali terjajah oleh
fanatisme kedaerahan ??
Akankah Bhineka Tunggal ika sudah dilupakan arti dan
hakikatnya ? apakah tiada lagi kesatuan dalam keberagaman ?
Kita
mengetahui bahwa, setiap kali adanya transisi suatu rezim, selalu (dibuat)
gaduh, akan banyak sekali perpecahan umat, pecahnya golongan yang awalnya
sangat nihil perbedaan, semua ditimbulkan dari ulah dan nafsu-nafsu untuk
menjadi pemimpin, hingga lupa diri bahwa kemauannya ternyata telah menggasak
sendi kemanusiaan dalam bingkai keberagaman, hingga nafsu menjadi pemimpin,
berubah menjadi nafsu menjadi penguasa, dan itu merupakan taghut yang nyata.
Yang
"itu" bilang anda salah, yang "ini" bilang kamu benar tapi
dibalik layar menyuarakan kebencian karena tidak sepaham dengannya, dan yang
lain diam, namun selalu mengujar kesalahan orang dimedia sosial.
Sungguh,
bapak ibu, adik adik dan mas mbak harus ingat, kalau kebiasaan dalam transisi
rezim selalu gaduh lantas kenapa kita diam ? Apakah kejadian itu akan menjadi
pola yang sama setiap ada transisi kepemimpinan ? dipermainkan oleh isu
kekuasaan, dibuatlah rangkaian kekeliruan dari wacana oleh segelintir
politikus, agen agen rahasia dan bisa jadi para pengamat hingga tim survey.
Mari
dimulai dari diri kita. Mari menanamkan kecintaan kita pada sesama. Bahwa
bernegara adalah suatu yang damai bila saling bergotong-royong. Jangan menuduh,
stop menjelekkan orang lain, stop mengujar kesalahan orang lain, stop
membicarakan kesalahan orang lain. Itu semua adalah memproduksi sampah.
Biarlah
panglima bekerja untuk keadilan. Biarkan pemerintah bekerja dalam menunaikan
tugasnya. Biarlah demokrasi melaksanakan tugasnya tanpa harus ada titipan dan
pemberian label. Dan biarkan rakyat memberikan nilai atas kinerja wakilnya,
tanpa adanya pembredelan pada yang mengkritiknya. itu semua adalah bentuk rasa
cinta.
Labels:
politik
Thanks for reading Kalau : Transisi Pemimpin Selalu (dibuat) Gaduh I amruloh saja. Please share...!
0 Comment for "Kalau : Transisi Pemimpin Selalu (dibuat) Gaduh I amruloh saja"