DEKAT PILKADA, MENDADAK BERKOPYAH
Kopyah memang sangat biasa umum dalam penggunaannya, artinya tidak melekat dan mencirikan pada suatu bangsa dan negara tertentu, oleh suku dan agama apapun, sebab banyak orang yang menjadi pemakai kopyah dibelahan bumi lainnya. Namun Kopyah lebih pada identik dan mencirikan Golongan Nasionalis, berwibawa, gagah dan mempunyai karisma. Kopyah, atau peci atau songkok tidak hanya ada di Indonesia. Di arab sana, tidak ada orang yang berkopyah layaknya seperti di Indonesia. Bagi orang Islam, tak hanya sebatas untuk melindungi jidat dari rambut saat sholat, namun terlebih untuk bergaya, style, memantaskan diri sebagai orang yang rapi. Bagi orang islam, kopyah tidaklah suatu hal yang aneh, karena sudah biasa untuk digunakan sebagai sarana berbusana saat sholat, lebih dari itu, ada moment-moment tertentu yang orang berawal tidak pernah berkopyah, mendadak berkopyah.
Katakan saja didaerah jawa, ketika bapak-bapak sedang akan dalam acara temanten, mereka berpakaian rapi layaknya untuk menghormati sang pengundang, maka tidaklah akan lengkap sebelum memakai kopyah hitam / putih. Dan sangatlah aneh bila mereka datang ke acara temanten tidak memakainya, hingga ada orang yang berkata, tidak pakai kopyah seperti orang “telanjang”, tidak menghargai yang punya acara, dan akan disindir oleh orang lain sebagai orang yang kurang rapi dalam berpakaian.
Sama halnya dengan si manten, manten laki laki yang memakai setelan jas dan lengan putih, tidaklah akan lengkap dan sempurna tanpa kehadiran Kopyah. Ada juga walikota bandung, bapak Ridwan Kamil, sejak tahun 2014 mewajibkan para pegawai untuk berkopyah seyiap jum'at, keren bukan.
Kopyah, orang turki menamainya dengan Fez, digunakan untuk tutup kepala para kaum nasionalis, kaum bangsawan dan para pejabat. Artinya, di Turki hanya orang – orang tertentu dan yang punya jabatan tertentu yang “pantas” memakai Fez. Sedangkan orang belanda menamainya dengan Peci (Petje), sebagai tutup kepala para tentara. Dalam sejarah di Arab, istilah kopyah dikenal dengan Kefieh, kaffieh atau kufiya yang artinya tutup kepala. Oleh bangsa arab, kopyah memang tdak sama dengan orang Indonesia, di Arab lebih lebar seperti lembaran kain yang digunakan untuk menghalau panas terik Matahari.
Di Indonesia, Kopyah banyak digunakan oleh para pendiri Indonesia. Ada Hos Cokroaminoto, dan bung Karno serta Bung Hatta (beberapa contoh para Founding Indonesia). Dalam suatu peristiwa tidak akan lengkap dan sah bila belum memakai Kopyah. Bapak Soekarno-pun pernah mengatakan bahwa “ untuk menjadi laki-laki sejati harus memakai Kopyah”. Dengan memakai setelan baju jas, bersepatu mengkilap, maka tidak akan sah dan lengkap bila belum memakai Kopyah. Dengan orang memakai kopyah kapanpun itu, sebenarnya menjadi refleksi dan cerminan diri atas kewibawaan, kegagahan, kepantasan orang yang memakai kopyah, sama seperti Hos Cokroaminoto, Bung Karno dan Bung Hatta. Istilahnya begini, Kopyah masa pak Cokro, masa Bung Karno, masa Bung Hatta, adalah sebagai penghantar menuju kemerdekaan. Bahkan Bung Karnopun tidak pernah tidak berkopyah saat orasi di mimbar perjuangannya hingga Merdeka.
Namun, seiring berkembangnya zaman, Kopyah dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk “memantaskan diri” dalam memuluskan jalan menuju suatu kekuasaan. Sebagai contoh mereka adalah para calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah dalam pemilihan Kepala Daerah. Dari golongan dan suku apapun, jika musim pilkada, kebetulan nyalon, maka kebanyakan dari mereka akan segera mendadak berkopyah. Selain para calon, para politisi, Pak Dewan, orang Partai banyak yang memakai Kopyah. Dengan memakai kopyah, kebanyakan dari mereka ingin mengejawentahkan Tokoh Founding Father pendiri bangsa, maksudnya. Minimal, dengan memakai aksesoris dan pakaian yang sama, maka watak dan motivasi serta visi kedepan akan sama dengan orang yang dicontoh. Contohnya, meniru cara ber-Kopyah Bung Karno, dengan memakai Kopyah yang agak dmiringkan, seperti Bung Karno, maka setidaknya ia menyerupainya, akan menjadi”nya”, orang yang visioner, berwibawa, pandai berorasi, memihak petani dan rakyat kecil, progresif dalam berfikir dan bertindak, calon pemimpin bangsa masa datang yang meniru gaya Bung Karno. Sangat sah, dan tidak dilarang ingin seperti beliau-beliau bapak pendiri Bangsa.
Akan tetapi cobalah kita sebagai rakyat kecil, merenungkan kembali, saat ini, saat sekarang tempo sepuluh tahun, berapa banyak para elit partai, elit kepala daerah, Dewan wakil rakyat yang tidak bisa menerapkan impiannya “berkopyah”, berkopyah ingin mengabdi demi negara, malah justru merugikan negara dengan Korupsi, menyunat uang rakyat, mencopet uang rakyat.
Korupsi sudah menjai musuh bersama di Indonesia, bahkan Negara dengan segenap rakyatnya harus dan wajib memeranginya. Namun ternyata Tikusnya sudah menguasai sarang Tikus, jadi sulit untuk dibasmi. Artinya, para koruptor sudah menguasai pos pos penting untuk lari dari jeratan Hukum, entah pencucian uang, dan cara cara lainnya.
Nah, kita berharap dan berdoa, para pemilik kopyah ajaib tersebut, mampu merubah keadaan sebagai wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat. Dengan berkopyah, tidak hanya melindungi kepala saja, dari panas matahari, tidak sekedar dijadikan aksesoris saja saat dan dalam hal apapun, tetapi jauh kedepan mampu menghilangkan niatan untuk korupsi sejak dalam alam fikiran, melindungi diri dari godaan dan iming-iming kekuasaan yang sementara, sehingga para pemakai kopyah mampu mmperjuangkan visinya dengan gagah berani membela rakyat dari ketertindasan, berwibawa didepan rakyat saat mereka di kebiri haknya, mampu bersuara lantang saat rakyat membutuhkan prtolongan berupa pendampingan.
Thanks for reading DEKAT PILKADA, MENDADAK BERKOPYAH. Please share...!
0 Comment for "DEKAT PILKADA, MENDADAK BERKOPYAH"