TUMENGGUNG JALAP-ALAP MENJADI SOROTAN
PUBLIK
MENUJU GEGER PAREGREG #5
L
|
angit
bulan desember dipenuhi dengan awan hitam, angin lebat dan pergantian musim
yang tidak tentu, hujan membanjiri seluruh kawasan Nuswantara khususnya di
Majapahit. Suasana alam yang tidak memungkinkan dirasakan hal yang sama oleh
Jayakatwang (Adipati Kediri) yang resah belum juga sukses menggulingkan rezim
Kertanegara yang merupakan Raja yang menguasai Kerajaan Singosari. Cerita
tersebut menjadikan sejarah buruk dalam proses demokrasi dalam kerajaan –
kerajaan jawa. Sebelum dilahirkan kerajaan Majapahit, Nuswantara dikuasai oleh
Kerajaa Singosari yang berpusat di Malang. Dulunya Singosari terkenal dengan
sebutan Kerajaan Wilwatikta, kerajaan Besar besutan Ken Arok. Bergesernya
jaman, seperti jaman old dan jaman now, menjadikan proses regenerasi yang
awalnya demokratis menjadi anarkis dan cenderung pada pemufakatan jahat.
Tercerai
berainya keturunan Ken Arok hingga Kertanegara adalah bukti otentik bahwa
kerusakan silaturahmi disebabkan adanya kehausan pada kekuasaan. Menurut kitap
para Raja-Raja (Pararaton), Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria
Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan
kepada Raden
Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim
utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah
dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban
dari surat di atas disambut dengan senang hati. Raden
Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu
dinamai Majapahit, yang
namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika
pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur
melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya
berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing1.
Sejak itulah, Singosari berganti ke Tangan Raden Wijaya, dan nama Singosari
dirubah menjadi Majapahit.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pergantian Raja-Raja jawa banyak dipenuhi
dengan pertumpahan darah. Kekuasaan sudah menjadi cita-cita mutlak sebagai
legalitas atas pengakuan sebagai orang terhebat, terkuasa dan tertinggi yang mempunyai
hak otoritas penuh terhadap bawahannya yang dipimpin.
Kini,
gemuruh dan keriuhan terjadi diujung Tahun 2017. Hayam Wuruk yang sebentar lagi
lengser akan digantikan oleh Raja Baru yang dipastikan akan berpengaruh besar
terhadap geopolitik Majapahit. Menurut direktur Survey SERM (Survei
Elektabilitas Raja Majapahit), Ranggalawe, siapapun raja yang akan memimpin
Majapahit, akan dipastikan akan mempengaruhi suara Nasional Maharaja Kerajaan
Nuswantara. Hal ini dikarenakan pemilihan Raja Majapahit merupakan barometer
Nasional Maharaja Nuswantara.
Banyak
para mantan Raja Nuswantara rela turun gelanggang untuk maju dalam medan
peperangan politik. Katakan saja Tumenggung Martoloyo, (dahulu) dengan
kemampuan intelegensianya, beliau mampu mempertahankan Maharaja Nuswantara
selama dua periode dalam kepemimpinannya. Sebab ketenarannya inilah, sang Tumenggung
didapuk menjadi ketua tim Gerakan Majapahit Bersatu (GMB). Bersama GMB, Martoloyo
mengusung calon Raja Majapahit, Senopati Ayu indar dan Adipati Blambangan
Wirabhumi atau “ARUMI”.
Dalam
jumpa tim GMB di Kadipaten Pacitan, Tumenggung Martoloyo menjelentrehkan
(menjelaskan dengan luas) strategi yang digunakan untuk memenangkan pemilihan
Raja. Menurutnya, akan lebih cocok bila menggunakan strategi “ Glatik Neba”.
Sebagai ahli strategi, Martoloyo kembali memperluas pandangannya tentang
strateginya, diantaranya, karena jumlah prajurit dan para punggawa sangat
banyak, maka akan dipastikan memancing musuh (Putri Tribhuwna dan Tumenggung
Jalap-Alap) untuk bertempur jarak dekat. Jika musuh mendekat, maka akan mudah
“menyikat” lawan dan memenangkan pertempuran. Disamping itu, Tumenggung Martoloyo
dengan strateginya masih mempunyai kelemahan. Beliau menjelaskan kepada Tim GMB
untuk hati hati, bersatu dan waspada kepada Putri Tribhuwana dan Tumenggung
Jalap-Alap. Terutama, yaitu ketakutannya dengan Tumenggung Jalap-alap. Dia
ditakuti karena merupakan Tumenggung yang sangat cerdas dan ahli dibidang
strategi, intelegensia dan koordintor gerakan bawah tanah.
Ketakutan
Martoloyo bukan takut yang biasa. Dengan sikap tenang, Tumenggung Jalap – alap
mulai menggerakkan armadanya mendekati setiap daerah yang akan dikuasainya.
Tidak hanya menyebar Teliksandi, dia juga menyebar tim intelegensia memetakan
daerah rawan dan daerah “hijau”. Kader-kader terbaiknya yang merupakan para
kesatria, adipati, mantan senopati dibuatkan panggung kontestasi politik.
Melihat
dan mencermati peta politik Majapahit, Tumenggung Jalap-Alap harus berhati-hati
menentukan sikap Partainya dalam perhelatan akbar tersebut. Sebagai Tumenggung
yang pernah “gagal” maju dalam pemilihan Raja Kerajaan Nuswantara tahun 2014
lalu, ia tidak akan mengulang kegagalannya lagi dan lebih merasakan instink
nuraninya dalam melangkah melawan tumenggung Martoloyo dan Putri Tribhuwana.
Pada
pertengahan bulan Desember ini, Jalap-Alap sudah memasang kader terbaiknya
untuk dijadikn raja-raja di Mataram dan Demak. Hanya calon raja Majapahit yang
belum diputuskan. Bukan tanpa sebab, sebagai kawasan geografis yang luas dengan
masyarakat agamis islamis, Jalap-Alap tidak mau gegabah. Namun, gerak geriknya
sudah hampir terbaca publik, karena strategi dan taktik mulai diwacanakan.
Nama
nama orang penting Kerajaan Nuswantara mulai dipasang-pasangkan. Tokoh pemuda,
pendekar jawa, senopati, para adipati ditemui oleh Jalap-Alap untuk diketuk pintu
dan hasrat politiknya untuk merebut Majapahit. Satu orang tokoh pangeran dan
Ratu yang santer dibicarakan
media-media swasta dan kerajaan adalah Pangeran Kertabhumi dan Ratu Suhita.
Dasar utama perancangan calon Raja
Majapahit oleh Jalap-Alap adalah elektabilitas yang cenderung stabil naik.
Permainan yang dimainkan Jalap-Alap dianggap sebagai pemecah dan perebut suara,
“Kuda Hitam”. Nuansa keagamaan Majapahit masih sangat kental. Diprediksikan
oleh Ranggalawe bahwa pemilihan Raja-Raja Jawa utamanya di Majapahit, Faktor
kinerja bukan satu satunya alasan memilih siapa Raja Terbaik Majapahit. Namun,
Politik identitas dan SARA kemungkinan besar mendominasi isu politik elektoral.
Isu SARA akan dikemas lebih canggih dengan menumpang isu ketidakadilan dan
ketimpangan sosial. Dog whistle politics makin kencang hingga pemilihan
Raja Kerajaan Nuswantara 2019 yang akan datang.
Bagi Tumenggung Jalap-Alap, tahun 2018 dan 2019 adalah tahun
yang akan menentukan nasibnya beserta partai dalam perhelatan politik di
Nuswantara. Antara kalah menang, pamor dan ego. Ia tidak akan kalah, karena sudah
menjadi wataknya sebagai mantan tentara yang ditugaskan untuk tidak kalah,
tidak putus asa dan pastinya harus menang. Ia tidak akan lagi mau dihianati
seperti tahun-tahun sebelumnya, oleh Putri Tribhuwana.
Maka dengan geraknya yang
mulai terlihat, Jalap-Alap sudah dipastikan akan melawan dua kekuatan Besar, Matoloyo
dam Tribhuwana. Lantas siapakah yang akan menguasai Majapahit ? adakah kekuatan
yang bisa menandingi Putri Tribhuwana ? kembali, agen CIA belum tidur sepagi
ini.s
__________________________________________________________________________
1.https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
2. cerita fiksi
2. cerita fiksi
0 Comment for "TUMENGGUNG JALAP-ALAP MENJADI SOROTAN PUBLIK MENUJU GEGER PAREGREG #5"