Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha

Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan atau keturunan, Kaya tanpa didasari kebendaan.

  • NU ONLINE
  • Kalau : Transisi Pemimpin Selalu (dibuat) Gaduh I amruloh saja



    KALAU

    Kalau bisa bersama dan damai, mengapa selalu ramai dan terus memancing kerusuhan ?
    Jika hidup bersama lebih indah dengan cara gotong royong, kenapa harus sendiri-sendiri dan terus saling menuduh dan mengklaim kebenaran ?
    Jikalau memang kemakmuran rakyat harus digadaikan dengan darah kemanusiaan, mengapa tidak sekalian memberangus suatu kaum yang berbeda ?

    Berorganisasi  adalah tempatnya orang yang berbeda, anggapannya harus berikhtiar dalam keberagaman menuju teguhnya kesatuan. Tetapi mengapa justru berorganisasi sebagai tempat memproduksi fanatisme yang akut ? Mengapa berorganisasi justru menimbulkan stigma pengkotak-kotakan golongan ?

    Apakah Negara Kesatuan belum menjadikan nilai nilai dalam bernegara dan bermasyarakat ?
    Apakah sila-sila yang telah terstruktur rapi dalam Pancasila kurang begitu kokoh dan Tegak dalam menyangga Indonesia ?

    Bukankah Indonesia pernah terjajah dalam waktu yang sangat lama ? dan Pilar UUD 45 telah jelas, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Maka akan akah kemerdekaan yang telah diraih ini akan kembali hancur, terjajah oleh sistem kapitalisme, terjajah oleh Wacana Perpecahan, kembali terjajah oleh fanatisme kedaerahan ??
    Akankah Bhineka Tunggal ika sudah dilupakan arti dan hakikatnya ? apakah tiada lagi kesatuan dalam keberagaman ?

    Kita mengetahui bahwa, setiap kali adanya transisi suatu rezim, selalu (dibuat) gaduh, akan banyak sekali perpecahan umat, pecahnya golongan yang awalnya sangat nihil perbedaan, semua ditimbulkan dari ulah dan nafsu-nafsu untuk menjadi pemimpin, hingga lupa diri bahwa kemauannya ternyata telah menggasak sendi kemanusiaan dalam bingkai keberagaman, hingga nafsu menjadi pemimpin, berubah menjadi nafsu menjadi penguasa, dan itu merupakan taghut yang nyata.

    Yang "itu" bilang anda salah, yang "ini" bilang kamu benar tapi dibalik layar menyuarakan kebencian karena tidak sepaham dengannya, dan yang lain diam, namun selalu mengujar kesalahan orang dimedia sosial.

    Sungguh, bapak ibu, adik adik dan mas mbak harus ingat, kalau kebiasaan dalam transisi rezim selalu gaduh lantas kenapa kita diam ? Apakah kejadian itu akan menjadi pola yang sama setiap ada transisi kepemimpinan ? dipermainkan oleh isu kekuasaan, dibuatlah rangkaian kekeliruan dari wacana oleh segelintir politikus, agen agen rahasia dan bisa jadi para pengamat hingga tim survey.

    Mari dimulai dari diri kita. Mari menanamkan kecintaan kita pada sesama. Bahwa bernegara adalah suatu yang damai bila saling bergotong-royong. Jangan menuduh, stop menjelekkan orang lain, stop mengujar kesalahan orang lain, stop membicarakan kesalahan orang lain. Itu semua adalah memproduksi sampah.


    Biarlah panglima bekerja untuk keadilan. Biarkan pemerintah bekerja dalam menunaikan tugasnya. Biarlah demokrasi melaksanakan tugasnya tanpa harus ada titipan dan pemberian label. Dan biarkan rakyat memberikan nilai atas kinerja wakilnya, tanpa adanya pembredelan pada yang mengkritiknya. itu semua adalah bentuk rasa cinta.
    Labels: politik

    Thanks for reading Kalau : Transisi Pemimpin Selalu (dibuat) Gaduh I amruloh saja. Please share...!

    0 Comment for "Kalau : Transisi Pemimpin Selalu (dibuat) Gaduh I amruloh saja"

    Back To Top