Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha

Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan atau keturunan, Kaya tanpa didasari kebendaan.

  • NU ONLINE
  • interpretasi NDP HMI


    Interpretasi NDP sebagai Ideologi Gerakan HMI”
    Narasumber:
    Kanda Hadi Mutohir (Kahmi Kediri)
    “Interpretasi NDP Sebagai Ideologi Gerakan HMI”


    Sejak awal HMI telah mencantumkan “Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam” sebagai salah satu tujuannya, di samping “Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia”. Dengan demikian, Islam telah dijadikan sebagai landasan organisasi tanpa menafikkan konsep kenegaraan dan nasionalisme. Dalam hal ini HMI tidak mendasarkan diri pada “mazhab” tertentu, walau kemudian dalam pola pemikirannya HMI cenderung sebagai kelompok intelektual muslim pembaharu.
    Dari situ HMI menuangkan pemahaman keislamannya yang tertampung dalam sebuah buku pedoman yang diberi nama Nilai Dasar Perjuangan (NDP). NDP merupakan gambaran bagaimana seorang HMI memahami Islam sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Secara doktrin, yang terkandung dalam NDP bukanlah ajaran yang bertentangan dengan Islam, melainkan merupakan formulasi kembali atas al-Quran sehingga tertuang menjadi suatu kepribadian bagi kader HMI dalam mewujudkan amanat Tuhan sebagai khalifah fil-ardhi.
    NDP adalah landasan ideologis perjuangan HMI, sebagai ruh yang mendorong moral pergerakan kader. Pemahaman terhadap NDP diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan diri kader akan keyakinan ilahiahnya, membangun semangat humanisme dalam interaksi dengan sesama manusia, dan sebagai sumber nilai moral yang mengiringi ilmu pengetahuan untuk diabdikan bagi kemanusiaan. Dengan demikian nilai-nilai NDP bisa menjadi identitas yang khas bagi kader-kader HMI.
    Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang dirumuskan Cak Nur bersama Endang Saefudin Anshari dan Sakib Mahmud terlahir dalam sebuah rasion d-etre di atas: sebuah upaya membangun suatu pola berpikir baru bagi generasi baru umat (baca: mahasiswa) agar lebih afirmatif terhadap proses-proses pembangunan. Dengan nilai-nilai baru yang ditawarkan itu, diharapkan lahir generasi-generasi yang lebih berpikir bagaimana bisa secara lebih aktif menyelesaikan persoalan-persoalan praktis umat yang tengah menghadapi arus modernisasi / westernisasi, tidak lagi terkungkung ke dalam pertarungan ideologis yang hanya berpikir mengawang-awang pada aras ideologi memperjuangkan “ideologi Islam” yang harus mengenyahkan “ideologi non-Islam”, sementara implementasi praksisnya terabaikan. Mahasiswa yang belajar di universitas-universitas menuntut berbagai disiplin ilmu adalah kader-kader umat yang sangat potensial untuk bergerak pada arah praksis-profesioanl. Mereka sangat memungkinkan untuk kemudian terjun mengabdikan diri pada umat di berbagai lapangan profesi. Inilah respon “yang benar” terhadap tantangan modernisasi.
    Kata kunci dasar yang paling mudah untuk memahami pola berpikir yang ditawarkan dalam rumusan NDP itu adalah “iman, ilmu, dan amal” sebagaimana yang terbaca dalam bagian akhir rumusan NDP versi Cak Nur dkk. Iman adalah landasan, ilmu adalah alat, sedangkan amal adalah wujud nyata dan pembuktian dari iman dan ilmu. Amal yang dimaksud adalah amal-amal pada lapangan profesional seperti yang dimaksud di atas. Amal serupa ini merupakan amal untuk menghadapi tantangan modernitas yang tengah dihadapi umat Islam di Indonesia.
    Pada perkembangannya, ide-ide dalam NDP itu diterima baik dalam tubuh HMI. Berulang-ulang sampai Kongres Jakarta 2003 NDP disahkan kembali untuk dijadikan bahan dasar “ideologi” HMI yang juga akan diajarkan di berbagai jenjang training HMI. Dan memang materi ini seolah-olah menjadi materi paling sakral dalam setiap pelatihan (Latihan Kader I, II, dan III).
    Walaupun sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian serius seberapa jauh penyerapan dan efektivitas NDP bagi kader-kader HMI, namun hampir bisa dipastikan bahwa orientasi profesional yang diinginkan oleh HMI yang dasarnya diambil dari rumusan NDP dapat dipahami dengan baik. Ini terlihat dari masih dipeliharanya lembaga-lembaga profesional di tubuh HMI seperti LKMI, LEMI, LDMI, LPMI, LTMI, dan sebagainya. Sebagian besar kader HMI pun kemudian memang terjun ke dunia profesional sesuai dengan bidang yang dipelajari dan atau yang diminatinya semasa kuliah.
    Distorsi-distorsi pemahaman terhadap NDP ini tentu terjadi di sana-sini dan tidak mungkin dihindari sepenuhnya. Apalagi bila kader yang masuk HMI semakin tidak paham terhadap ideologi yang digariskan HMI melalui rumusan NDP. Distorsi-distorsi ini terlihat misalnya dalam kecenderungan yang berlebihan pentolan-pentolan HMI terhadap dunia politik. Kader-kader terbaik HMI banyak yang tersedot ke sana sampai muncul stigma bahwa HMI terlalu political-oriented atau organisasi pengkaderan calon politisi, dan sebagainya. Distorsi lain adalah kecenderungan ke arah yang lebih sekular. Banyak kader HMI yang tidak mengerti agama (baca: Islam) dengan baik dan, secara gerakan, HMI terlihat “meninggalkan” mesjid sejak lama.
    Distorsi pertama terjadi disebabkan telah banyaknya kader-kader HMI yang diakomodasi masuk ke dalam pusaran kekuasaan. Ini dapat dimengerti dengan mudah. HMI dengan jelas terlihat sangat menyokong “pembangunanisme” Orde Baru. Tulisan-tulisan Cak Nur dan berbagai kebijakan HMI pasca Orde Baru lebih terkesan ‘merestui’ segala kebijakan Soeharto. Oleh sebab itu, tidak heran bila HMI dijadikan salah satu basis kekuatan Orde Baru dari kelompok gerakan Islam, terutama kelompok generasi muda. Terutama melalui KNPI. HMI ditarik ke dalam pusaran kekuasaan untuk mendukung kekuasaan Soeharto. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila banyak alumni HMI yang kemudian sangat mudah masuk ke dalam dunia politik. Situasi ini berjalan sangat lama selama kekuasaan Orde Baru berjaya. Ketika rezim Soeharto tumbang, alumni-alumni HMI masih tetap tersisa di dalam arus kekuasaan. Bahkan belakangan sering terdengar stigma tentang HMI-connection di DPR dari pusat sampai daerah-daerah. Dalam situasi seperti itu, sangat wajar bila kemudian kader-kader HMI banyak yang berorientasi ke sana. Selain mudah karena akses yang sudah terbangun, juga lebih menjanjikan secara ekonomi dan terkesan lebih prestisius. Itulah kemudian yang mendistorsi arah gerakan kader-kader HMI.
    Distorsi kedua, yaitu kecenderungan ke arah sekular, akan kita lihat lebih mendalam. Masalah kecenderungan ke arah sekular, selain disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan, juga diakibatkan oleh paradigma NDP sendiri yang bisa mengafirmasi proses sekularisasi. Mengenai kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan terjadi semenjak mesjid-mesjid kampus ditinggalkan oleh kader-kader HMI. Ini terjadi sekitar pertengahan tahun 80-an, ketika Orde Baru dengan sangat garang memberangus siapa saja yang tidak sepakat dengan Asas Tunggal. Setiap aktivis mesjid akan dicurigai sebagai “ekstrim kanan”. HMI yang telah berkomitmen menerima Asas Tunggal, mau tidak mau harus menghindari stigmatisasi dari pihak penguasa sebagai “ekstrim kanan”. Bila tidak dilakukan alamat kedekatan HMI dengan Orde Baru yang sudah terjalin sejak lama akan sirna seketika. Akhirnya, mesjid-mesjid kampus diambil alih oleh generasi-generasi baru didikan alumni-alumni Masyumi yang berkumpul di Dewan Dakwah (Keluarga Besar Bulan Bintang) yang dikomandani Muhammad Natsir. Gerakan baru ini dulu dikenal dengan sebutan gerakan usrah atau tarbiyah yang kemudian setelah meletus Reformasi bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
    Jauhnya gerakan HMI dari mesjid semakin memperkuat kesan pada kader-kader HMI generasi pasca 80-an bahwa HMI lebih merupakan gerakan mahasiswa yang berhaluan “nasionalis” daripada gerakan mahasiswa “islamis”. Kesan ini kemudian berimplikasi pada budaya organisasi yang lebih mengedepankan tema-tema pembangunan dan nasionalisme daripada tema-tema Islam dan dakwah dalam arti yang seluas-luasnya. Isu-isu keislaman seolah tenggelam dalam isu-isu nasionalisme (kebangsaan). Pengkaderan-pengkaderan pun lebih banyak diarahkan ke sana.
    Nilai Dasar Perjuangan memang masih diajarkan pada periode-periode itu. Hanya sayang cara-cara pengajarannya yang lebih menekankan pada pendekatan rasional-filosofis menjadikan NDP cenderung “disekularisasi.” NDP bagi sebagian kader menjadi “hantu menakutkan” karena sulit dimengerti. Seringkali para pengajar alih-alih memperjelas dan menyederhanakan NDP sebagai bahan konsumsi ideologi, justru malah membuatnya menjadi rumit, berbelit-belit, dan cenderung tidak mudah dipahami. Sayag situasi inipun tidak ditanggapi serius oleh pengambil kebijakan di tingkat pusat. Sepanjang pengamatan, sangat jarang dilakukan training-training khusus metode pengajaran NDP yang lebih praktis dan memudahkan. Kalaupun ada training-training pengayaan NDP selalu cenderung lebih memperumit masalah. Situasi inilah yang kemudian NDP menjadi semakin hilang fungsinya sebagai dasar ideologis. Dan akhirnya, kecenderungan modernisasi yang akan membawa penganutnya ke arah sekularisasi pun terjadi dalam tubuh HMI. Jadilah HMI begitu sekuler dan duniawi.
    Keadaan seperti itu mestinya bisa diatasi bila secara fundamental paradigma HMI dapat mengkonstruk satu sistem yang tidak sekular. Inilah sebenarnya yang harus menjadi otokritik utama. Paradigma berorganisasi HMI yang direpresentasikan oleh NDP memperlihatkan kelemahannya secara mendasar pada bangunan filosofis-argumentatifnya yang memberikan afirmasi kepada modernitas agak berlebihan dan tidak merepresentasikan suatu islamic worldview yang memandang realitas secara tidak dikotomik.
    Mengenai afirmasi terhadap modernitas telah dijelaskan di awal makalah ini tentang kecenderungan-kecenderungan pemikiran Cak Nur. Afirmasi semacam ini pada mulanya berniat baik, yakni ingin mengubah umat agar lebih berpikir maju. Namun agaknya Cak Nur lupa bahwa implikasi penerimaan terhadap modernisasi, bila tidak dihadapi secara kritis, justru akan membawa ke arah sekularisasi. Tidak kurang dari penulis-penulis Barat sendiri yang menyebutkan bahwa di antara ciri masyarakat yang telah termodernkan adalah terjadi de-agami-sasi dan sekularisasi seperti yang terjadi dalam sejarah sekularisasi di Barat sejak abad ke-16 M. Yang terjadi di HMI pada tahap selanjunya ketika proses ideologisasinya semakin melemah, adalah proses sekularisasi, sekalipun hal demikian tidak diinginkan Cak Nur sendiri sebagai penggagas NDP. Cak Nur mengartikan modernisasi yang ia setujui itu sebagai usaha merasionalisasi praktik-praktik keberagamaan, namun pada kenyataannya malah menyeret pada sekularisasi seperti yang terjadi di HMI. Hal demikian disebabkan tarikan arus modernisasi-sekular yang memang tengah terjadi di Indonesia lebih kuat daripada penanaman ideologi  melalui NDP.
    Kemungkinan terjadi sekularisasi itupun bisa disebabkan pendekatan NDP yang masih dikotomik dan reduksionis dalam melihat realitas kehidupan. Benar bahwa dalam NDP ditekankan pentingnya kepercayaan pada Allah sebagai modal kehidupan. Namun pada saat yang sama NDP terlampau memberikan kepercayaan kepada ilmu pengetahuan Barat-modern untuk dijadikan pegangan oleh kader-kader HMI. Kecenderungan-kecenderungan epistemologis dalam ilmu pengetahuan Barat yang reduktif dalam memandang realitas secara holistik-universal ini tidak diantisipasi sejak awal. Ilmu pengetahuan Barat secara umum lebih mengajarkan “positivisme” dan “empirisisme” yang artinya mereduksi realitas hanya sampai pada tingkat fisik-indrawi. Tingkat wujud lain seperti wujud Tuhan, wujud intuisi, dan wujud-wujud non-fisik lain dianggap sebagai wujud yang tidak riil sehingga pengetahuan mengenai hal tersebut dianggap sebagai pengetahuan yang tidak bisa diandalkan.
    Reduksionisme semacam itu pada gilirannya membawa modernisme pada situasi kekeringan spiritual yang akut. Hal demikian terjadi di HMI. Agama sebatas dibicarakan sebagai urusan pribadi, sementara urusan-urusan kemasyarakatan dianggap tidak ada sangkut pautnya dengan agama (baca: Islam). Sementara masalah pribadi seringkali tidak dibicarakan dalam konteks berorganisasi. Akhirnya, kader-kader yang sebelumnya tidak mengerti soal-soal keagamaan, ketika masuk HMI kehilangan perhatian terhadap spiritualitas. Mereka-mereka inilah yang kemudian terjangkiti penyakit modernisasi di Barat, yaitu krisis spiritual dan cenderung sekular. Kader-kader yang sebelumnya telah akrab dengan agama (baca: Islam) kondisinya agak sedikit lebih baik. Secara sistemik, HMI tidak menyediakan wadah yang secara efekif mendidik seluruh kadernya agar terhindar dari krisis spiritual sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat yang termodernkan lainnya. Inilah kelemahan organisatoris mendasar yang membawa HMI pada situasi yang sama sekali tidak diharapkan.
    NDP pada dirinya sendiri belum menawarkan paradigma integratif pada tataran epistemologis yang bisa memadukan antara supremasi wahyu dan fakultas spiritual dalam Islam dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan (empirik dan rasional). Fondasi tauhid dalam NDP belum bisa sepenuhnya menyelesaikan dikotomi-dikotomi, misalnya, antara subjektif-objektif, fisik-spiritual, agama-non agama, dan dikotomi-dikotomi lain yang sama sekali tidak bisa memandang realitas secara lebih utuh. Situasi ini sangat wajar terjadi di tangah pemujaan terhadap modernitas yang sekular dan dikotomik. Sekalipun demikian, keinginan NDP untuk mengatasi dikotomi itu sudah terlihat ada dengan tidak benar-benar mengenyahkan agama (pandangan Tauhid) dari aras NDP.
    Persoalan krisis spiritual itu pada mulanya timbul akibat pendekatan epistemologis yang keliru. Dalam pandangan epistemologi Barat-modern yang dianut NDP pendekatan dalam pemerolehan pengetahuan (epistemologis) terjebak hanya pada dua pendekatan, yaitu pendekatan empirik dan rasional. Padahal, pada saat yang sama manusia adalah makhluk yang dibekali potensi intuitif (al-qalb atau hati). Kalaupun ada perhatian pada masalah hati, sifatnya tidak integratif seperti yang telah dijelaskan di atas. Seolah-olah hati atau intuisi bukanlah sesuatu yang mampu melahirkan pengetahuan yang juga bisa diandalkan seperti alat indra (empirik) dan akal (rasional). Bahkan untuk pengenalan objek-objek non-fisik yang tidak bisa diindra dan tidak terjangkau oleh akal, penggunaan intuisi justru lebih bisa diandalkan. Oleh sebab itu, dalam term-term yang ditulis sepanjang NDP, riyâdhah rûhiyyah (spiritual exercise atau latihan spiritual) tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dan mendasar. Padahal dalam hirarki pengetahuan Islam, pengetahuan yang diperoleh melalui riyâdhah rûhiyyah adalah pengetahuan dasar dan wajib dipelajari oleh semua orang. Sementara pengetahuan-pengetahuan yang salurannya diperoleh melalui akal dan indra, kebanyakan merupakan ilmu-ilmu yang statusnya hanya wajib kifâyah (hanya sebagian orang saja yang harus mempelajarinya).


    0 Comment for "interpretasi NDP HMI"

    Back To Top