“Interpretasi NDP sebagai Ideologi Gerakan HMI”
Narasumber:
Kanda
Hadi Mutohir (Kahmi Kediri)
Sejak awal
HMI telah mencantumkan “Menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam” sebagai salah satu tujuannya, di samping “Mempertahankan dan mempertinggi derajat
rakyat Indonesia”. Dengan demikian, Islam telah dijadikan sebagai landasan
organisasi tanpa menafikkan konsep kenegaraan dan nasionalisme. Dalam hal ini
HMI tidak mendasarkan diri pada “mazhab” tertentu, walau kemudian dalam pola
pemikirannya HMI cenderung sebagai kelompok intelektual muslim pembaharu.
Dari situ
HMI menuangkan pemahaman keislamannya yang tertampung dalam sebuah buku pedoman
yang diberi nama Nilai Dasar Perjuangan (NDP). NDP merupakan gambaran bagaimana
seorang HMI memahami Islam sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Secara doktrin,
yang terkandung dalam NDP bukanlah ajaran yang bertentangan dengan Islam,
melainkan merupakan formulasi kembali atas al-Quran sehingga tertuang menjadi
suatu kepribadian bagi kader HMI dalam mewujudkan amanat Tuhan sebagai khalifah fil-ardhi.
NDP adalah landasan
ideologis perjuangan HMI, sebagai ruh yang mendorong moral pergerakan kader.
Pemahaman terhadap NDP diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan diri kader akan
keyakinan ilahiahnya, membangun semangat humanisme dalam interaksi dengan
sesama manusia, dan sebagai sumber nilai moral yang mengiringi ilmu pengetahuan
untuk diabdikan bagi kemanusiaan. Dengan demikian nilai-nilai NDP bisa menjadi
identitas yang khas bagi kader-kader HMI.
Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang dirumuskan Cak Nur bersama Endang Saefudin
Anshari dan Sakib Mahmud terlahir dalam sebuah rasion d-etre di atas:
sebuah upaya membangun suatu pola berpikir baru bagi generasi baru umat (baca:
mahasiswa) agar lebih afirmatif terhadap proses-proses pembangunan. Dengan
nilai-nilai baru yang ditawarkan itu, diharapkan lahir generasi-generasi yang
lebih berpikir bagaimana bisa secara lebih aktif menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis umat yang tengah menghadapi arus modernisasi /
westernisasi, tidak lagi terkungkung ke dalam pertarungan ideologis yang hanya
berpikir mengawang-awang pada aras ideologi memperjuangkan “ideologi Islam”
yang harus mengenyahkan “ideologi non-Islam”, sementara implementasi praksisnya
terabaikan. Mahasiswa yang belajar di universitas-universitas menuntut berbagai
disiplin ilmu adalah kader-kader umat yang sangat potensial untuk bergerak pada
arah praksis-profesioanl. Mereka sangat memungkinkan untuk kemudian terjun
mengabdikan diri pada umat di berbagai lapangan profesi. Inilah respon “yang
benar” terhadap tantangan modernisasi.
Kata
kunci dasar yang paling mudah untuk memahami pola berpikir yang ditawarkan
dalam rumusan NDP itu adalah “iman, ilmu, dan amal” sebagaimana yang terbaca
dalam bagian akhir rumusan NDP versi Cak Nur dkk. Iman adalah landasan, ilmu
adalah alat, sedangkan amal adalah wujud nyata dan pembuktian dari iman dan
ilmu. Amal yang dimaksud adalah amal-amal pada lapangan profesional seperti
yang dimaksud di atas. Amal serupa ini merupakan amal untuk menghadapi
tantangan modernitas yang tengah dihadapi umat Islam di Indonesia.
Pada
perkembangannya, ide-ide dalam NDP itu diterima baik dalam tubuh HMI.
Berulang-ulang sampai Kongres Jakarta 2003 NDP disahkan kembali untuk dijadikan
bahan dasar “ideologi” HMI yang juga akan diajarkan di berbagai jenjang training
HMI. Dan memang materi ini seolah-olah menjadi materi paling sakral dalam
setiap pelatihan (Latihan Kader I, II, dan III).
Walaupun
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian serius seberapa jauh
penyerapan dan efektivitas NDP bagi kader-kader HMI, namun hampir bisa
dipastikan bahwa orientasi profesional yang diinginkan oleh HMI yang dasarnya
diambil dari rumusan NDP dapat dipahami dengan baik. Ini terlihat dari masih
dipeliharanya lembaga-lembaga profesional di tubuh HMI seperti LKMI, LEMI, LDMI,
LPMI, LTMI, dan sebagainya. Sebagian besar kader HMI pun kemudian memang terjun
ke dunia profesional sesuai dengan bidang yang dipelajari dan atau yang
diminatinya semasa kuliah.
Distorsi-distorsi
pemahaman terhadap NDP ini tentu terjadi di sana-sini dan tidak mungkin
dihindari sepenuhnya. Apalagi bila kader yang masuk HMI semakin tidak paham
terhadap ideologi yang digariskan HMI melalui rumusan NDP. Distorsi-distorsi
ini terlihat misalnya dalam kecenderungan yang berlebihan pentolan-pentolan HMI
terhadap dunia politik. Kader-kader terbaik HMI banyak yang tersedot ke sana
sampai muncul stigma bahwa HMI terlalu political-oriented atau
organisasi pengkaderan calon politisi, dan sebagainya. Distorsi lain
adalah kecenderungan ke arah yang lebih sekular. Banyak kader HMI yang tidak
mengerti agama (baca: Islam) dengan baik dan, secara gerakan, HMI terlihat
“meninggalkan” mesjid sejak lama.
Distorsi
pertama terjadi disebabkan telah banyaknya kader-kader HMI yang
diakomodasi masuk ke dalam pusaran kekuasaan. Ini dapat dimengerti dengan
mudah. HMI dengan jelas terlihat sangat menyokong “pembangunanisme” Orde Baru.
Tulisan-tulisan Cak Nur dan berbagai kebijakan HMI pasca Orde Baru lebih
terkesan ‘merestui’ segala kebijakan Soeharto. Oleh sebab itu, tidak heran bila
HMI dijadikan salah satu basis kekuatan Orde Baru dari kelompok gerakan Islam,
terutama kelompok generasi muda. Terutama melalui KNPI. HMI ditarik ke dalam
pusaran kekuasaan untuk mendukung kekuasaan Soeharto. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan bila banyak alumni HMI yang kemudian sangat mudah masuk ke dalam
dunia politik. Situasi ini berjalan sangat lama selama kekuasaan Orde Baru
berjaya. Ketika rezim Soeharto tumbang, alumni-alumni HMI masih tetap tersisa
di dalam arus kekuasaan. Bahkan belakangan sering terdengar stigma tentang HMI-connection
di DPR dari pusat sampai daerah-daerah. Dalam situasi seperti itu, sangat
wajar bila kemudian kader-kader HMI banyak yang berorientasi ke sana. Selain
mudah karena akses yang sudah terbangun, juga lebih menjanjikan secara ekonomi
dan terkesan lebih prestisius. Itulah kemudian yang mendistorsi arah gerakan
kader-kader HMI.
Distorsi
kedua, yaitu kecenderungan ke arah sekular, akan kita lihat lebih
mendalam. Masalah kecenderungan ke arah sekular, selain disebabkan oleh
kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan, juga diakibatkan oleh
paradigma NDP sendiri yang bisa mengafirmasi proses sekularisasi. Mengenai
kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan terjadi semenjak
mesjid-mesjid kampus ditinggalkan oleh kader-kader HMI. Ini terjadi sekitar
pertengahan tahun 80-an, ketika Orde Baru dengan sangat garang memberangus
siapa saja yang tidak sepakat dengan Asas Tunggal. Setiap aktivis mesjid akan
dicurigai sebagai “ekstrim kanan”. HMI yang telah berkomitmen menerima Asas
Tunggal, mau tidak mau harus menghindari stigmatisasi dari pihak penguasa
sebagai “ekstrim kanan”. Bila tidak dilakukan alamat kedekatan HMI dengan Orde
Baru yang sudah terjalin sejak lama akan sirna seketika. Akhirnya,
mesjid-mesjid kampus diambil alih oleh generasi-generasi baru didikan
alumni-alumni Masyumi yang berkumpul di Dewan Dakwah (Keluarga Besar Bulan
Bintang) yang dikomandani Muhammad Natsir. Gerakan baru ini dulu dikenal dengan
sebutan gerakan usrah atau tarbiyah yang kemudian setelah meletus
Reformasi bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Jauhnya
gerakan HMI dari mesjid semakin memperkuat kesan pada kader-kader HMI generasi
pasca 80-an bahwa HMI lebih merupakan gerakan mahasiswa yang berhaluan
“nasionalis” daripada gerakan mahasiswa “islamis”. Kesan ini kemudian
berimplikasi pada budaya organisasi yang lebih mengedepankan tema-tema
pembangunan dan nasionalisme daripada tema-tema Islam dan dakwah dalam arti
yang seluas-luasnya. Isu-isu keislaman seolah tenggelam dalam isu-isu
nasionalisme (kebangsaan). Pengkaderan-pengkaderan pun lebih banyak diarahkan
ke sana.
Nilai
Dasar Perjuangan memang masih diajarkan pada periode-periode itu. Hanya sayang
cara-cara pengajarannya yang lebih menekankan pada pendekatan rasional-filosofis
menjadikan NDP cenderung “disekularisasi.” NDP bagi sebagian kader menjadi
“hantu menakutkan” karena sulit dimengerti. Seringkali para pengajar alih-alih
memperjelas dan menyederhanakan NDP sebagai bahan konsumsi ideologi, justru
malah membuatnya menjadi rumit, berbelit-belit, dan cenderung tidak mudah
dipahami. Sayag situasi inipun tidak ditanggapi serius oleh pengambil kebijakan
di tingkat pusat. Sepanjang pengamatan, sangat jarang dilakukan
training-training khusus metode pengajaran NDP yang lebih praktis dan
memudahkan. Kalaupun ada training-training pengayaan NDP selalu cenderung lebih
memperumit masalah. Situasi inilah yang kemudian NDP menjadi semakin hilang
fungsinya sebagai dasar ideologis. Dan akhirnya, kecenderungan modernisasi yang
akan membawa penganutnya ke arah sekularisasi pun terjadi dalam tubuh HMI.
Jadilah HMI begitu sekuler dan duniawi.
Keadaan
seperti itu mestinya bisa diatasi bila secara fundamental paradigma HMI dapat
mengkonstruk satu sistem yang tidak sekular. Inilah sebenarnya yang harus
menjadi otokritik utama. Paradigma berorganisasi HMI yang direpresentasikan
oleh NDP memperlihatkan kelemahannya secara mendasar pada bangunan
filosofis-argumentatifnya yang memberikan afirmasi kepada modernitas agak
berlebihan dan tidak merepresentasikan suatu islamic worldview yang
memandang realitas secara tidak dikotomik.
Mengenai
afirmasi terhadap modernitas telah dijelaskan di awal makalah ini tentang
kecenderungan-kecenderungan pemikiran Cak Nur. Afirmasi semacam ini pada
mulanya berniat baik, yakni ingin mengubah umat agar lebih berpikir maju. Namun
agaknya Cak Nur lupa bahwa implikasi penerimaan terhadap modernisasi, bila
tidak dihadapi secara kritis, justru akan membawa ke arah sekularisasi. Tidak
kurang dari penulis-penulis Barat sendiri yang menyebutkan bahwa di antara ciri
masyarakat yang telah termodernkan adalah terjadi de-agami-sasi dan
sekularisasi seperti yang terjadi dalam sejarah sekularisasi di Barat sejak
abad ke-16 M. Yang terjadi di HMI pada tahap selanjunya ketika proses
ideologisasinya semakin melemah, adalah proses sekularisasi, sekalipun hal
demikian tidak diinginkan Cak Nur sendiri sebagai penggagas NDP. Cak Nur
mengartikan modernisasi yang ia setujui itu sebagai usaha merasionalisasi
praktik-praktik keberagamaan, namun pada kenyataannya malah menyeret pada
sekularisasi seperti yang terjadi di HMI. Hal demikian disebabkan tarikan arus
modernisasi-sekular yang memang tengah terjadi di Indonesia lebih kuat daripada
penanaman ideologi melalui NDP.
Kemungkinan
terjadi sekularisasi itupun bisa disebabkan pendekatan NDP yang masih dikotomik
dan reduksionis dalam melihat realitas kehidupan. Benar bahwa dalam NDP
ditekankan pentingnya kepercayaan pada Allah sebagai modal kehidupan. Namun
pada saat yang sama NDP terlampau memberikan kepercayaan kepada ilmu
pengetahuan Barat-modern untuk dijadikan pegangan oleh kader-kader HMI.
Kecenderungan-kecenderungan epistemologis dalam ilmu pengetahuan Barat yang
reduktif dalam memandang realitas secara holistik-universal ini tidak
diantisipasi sejak awal. Ilmu pengetahuan Barat secara umum lebih mengajarkan “positivisme” dan
“empirisisme” yang artinya mereduksi realitas hanya sampai pada tingkat
fisik-indrawi. Tingkat wujud lain seperti wujud Tuhan, wujud intuisi, dan
wujud-wujud non-fisik lain dianggap sebagai wujud yang tidak riil sehingga
pengetahuan mengenai hal tersebut dianggap sebagai pengetahuan yang tidak bisa
diandalkan.
Reduksionisme
semacam itu pada gilirannya membawa modernisme pada situasi kekeringan
spiritual yang akut. Hal demikian terjadi di HMI. Agama sebatas dibicarakan
sebagai urusan pribadi, sementara urusan-urusan kemasyarakatan dianggap tidak
ada sangkut pautnya dengan agama (baca: Islam). Sementara masalah pribadi
seringkali tidak dibicarakan dalam konteks berorganisasi. Akhirnya, kader-kader
yang sebelumnya tidak mengerti soal-soal keagamaan, ketika masuk HMI kehilangan
perhatian terhadap spiritualitas. Mereka-mereka inilah yang kemudian
terjangkiti penyakit modernisasi di Barat, yaitu krisis spiritual dan cenderung
sekular. Kader-kader yang sebelumnya telah akrab dengan agama (baca: Islam)
kondisinya agak sedikit lebih baik. Secara sistemik, HMI tidak menyediakan
wadah yang secara efekif mendidik seluruh kadernya agar terhindar dari krisis
spiritual sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat yang termodernkan lainnya.
Inilah kelemahan organisatoris mendasar yang membawa HMI pada situasi yang sama
sekali tidak diharapkan.
NDP
pada dirinya sendiri belum menawarkan paradigma integratif pada tataran
epistemologis yang bisa memadukan antara supremasi wahyu dan fakultas spiritual
dalam Islam dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan (empirik dan rasional).
Fondasi tauhid dalam NDP belum bisa sepenuhnya menyelesaikan dikotomi-dikotomi,
misalnya, antara subjektif-objektif, fisik-spiritual, agama-non agama, dan
dikotomi-dikotomi lain yang sama sekali tidak bisa memandang realitas secara
lebih utuh. Situasi ini sangat wajar terjadi di tangah pemujaan terhadap
modernitas yang sekular dan dikotomik. Sekalipun demikian, keinginan NDP untuk
mengatasi dikotomi itu sudah terlihat ada dengan tidak benar-benar mengenyahkan
agama (pandangan Tauhid) dari aras NDP.
Persoalan
krisis spiritual itu pada mulanya timbul akibat pendekatan epistemologis yang
keliru. Dalam pandangan epistemologi Barat-modern yang dianut NDP pendekatan
dalam pemerolehan pengetahuan (epistemologis) terjebak hanya pada dua
pendekatan, yaitu pendekatan empirik dan rasional. Padahal, pada saat yang sama
manusia adalah makhluk yang dibekali potensi intuitif (al-qalb atau
hati). Kalaupun ada perhatian pada masalah hati, sifatnya tidak integratif
seperti yang telah dijelaskan di atas. Seolah-olah hati atau intuisi bukanlah
sesuatu yang mampu melahirkan pengetahuan yang juga bisa diandalkan seperti
alat indra (empirik) dan akal (rasional). Bahkan untuk pengenalan objek-objek
non-fisik yang tidak bisa diindra dan tidak terjangkau oleh akal, penggunaan
intuisi justru lebih bisa diandalkan. Oleh sebab itu, dalam term-term yang
ditulis sepanjang NDP, riyâdhah rûhiyyah (spiritual exercise atau
latihan spiritual) tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dan mendasar. Padahal
dalam hirarki pengetahuan Islam, pengetahuan yang diperoleh melalui riyâdhah
rûhiyyah adalah pengetahuan dasar dan wajib dipelajari oleh semua
orang. Sementara pengetahuan-pengetahuan yang salurannya diperoleh melalui akal
dan indra, kebanyakan merupakan ilmu-ilmu yang statusnya hanya wajib kifâyah
(hanya sebagian orang saja yang harus mempelajarinya).
0 Comment for "interpretasi NDP HMI"